Ilustrasi aktivitas pertambangan batu bara di Indonesia. Tren ekspor batu bara RI ke China menurun drastis, memicu kekhawatiran penurunan harga global hingga akhir 2025.
-
Syaiful Amri
JAMBISNIS.COM - Pasar batu bara Indonesia tengah dibayangi tekanan berat hingga akhir tahun 2025. Penurunan permintaan dari pasar utama seperti China dan India, serta ketegangan geopolitik global, turut memperburuk outlook ekspor dan harga batu bara nasional. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa ekspor batu bara Indonesia pada periode Januari–April 2025 hanya mencapai 160 juta ton, turun 6,43% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 171 juta ton.
Penurunan signifikan terjadi di pasar ekspor utama seperti China, di mana impor batu bara dari Indonesia menyusut selama tiga bulan berturut-turut. Menurut Bea Cukai China, impor batu bara RI ke Negeri Tirai Bambu pada April 2025 hanya sebesar 14,28 juta ton, atau turun 20% year-on-year (yoy).
China kini tengah menekan impor batu bara kalori rendah dan lebih mengandalkan produksi dalam negeri sebagai langkah efisiensi energi sekaligus pengurangan emisi karbon. Sementara itu, harga batu bara acuan (HBA) pun terus menunjukkan tren penurunan. HBA untuk batu bara kalori tinggi (6.322 kcal/kg GAR) pada pertengahan Juni 2025 ditetapkan sebesar US$98,61 per ton, turun dari US$100,97 pada awal bulan. Sementara HBA untuk batu bara kalori menengah (5.300 kcal/kg GAR) juga turun menjadi US$75,64 per ton.
Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo memproyeksikan tren harga akan terus melemah hingga akhir 2025 karena tidak ada alasan fundamental yang cukup kuat untuk mendorong harga naik.
Lebih lanjut, Singgih menegaskan perlunya pengendalian produksi batu bara nasional selama dua tahun ke depan agar tidak terjadi oversupply dan harga tidak jatuh lebih dalam. Penurunan juga terjadi pada penjualan batu bara untuk pasar domestik (DMO), yang hanya mencapai 12 juta ton pada kuartal I/2025, turun dari 16 juta ton pada periode sama tahun sebelumnya.
Di tengah kondisi pasar yang sulit, pelaku usaha mengandalkan strategi efisiensi untuk mempertahankan margin keuntungan. Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menyatakan bahwa pengusaha akan fokus memaksimalkan produksi sesuai dengan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) serta efisiensi biaya operasional yang terus meningkat.
Selain permintaan yang melemah, pelaku usaha batu bara juga dihadapkan pada tantangan kebijakan, seperti kenaikan PPN 12%, kewajiban retensi dana hasil ekspor (DHE) sebesar 100% selama 12 bulan, dan harga batu bara domestik untuk PLN yang belum berubah sejak 2018 yaitu US$70 per ton.
Sementara itu, Plt Direktur Eksekutif APBI Gita Mahyarani menyebut bahwa pelaku usaha juga mulai menjajaki diversifikasi pasar ekspor di luar China, meskipun tantangan logistik dan akses pasar tetap ada.
Di sisi pemerintah, Sekretaris Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Siti Sumilah Rita Susilawati, menegaskan bahwa ekspor batu bara bersifat business-to-business (B2B). Namun, pemerintah tetap memantau dinamika pasar dan membuka ruang diskusi untuk mengevaluasi kebijakan HBA agar tetap kompetitif secara global.
Jl. Kapt. A. Bakaruddin, Kelurahan Selamat, Kecamatan Danau Sipin, Kota Jambi, 36124
+62
media@jambisnis.com pimred@jambisnis.com
© Design by Jambisnis.com